Lampung Traveller

Hutan Mangrove Petengoran, Kabar Baik dari Lampung

 

Hutan Mangrove Petengoran
foto: Sulistyo Putranto

Hutan mangrove Petengoran menjadi kabar baik ditengah sedemikian masifnya pembukaan obyek wisata maupun tambak-tambak udang di kawasan pesisir yang tak mengindahkan keberlangsungan lingkungan.

Dan Petengoran menjadi obatnya, apa yang dilakukan oleh BUMDes Makmur Jaya ini seolah menjadi oase atas rusaknya kawasan pesisir Teluk Lampung yang disulap untuk berbagai kepentingan (manusia) semata.

Padahal, ekosistem hutan bakau amat dibutuhkan sebagai penyeimbang. Hutan mangrove adalah sabuk hijau yang punya peran penting menjaga keberlangsungan ekosistem pesisir termasuk bagi manusia itu sendiri.

Hutan bakau adalah ‘rumah besar’ bagi habitat nyamuk anopheles yang menjadi penyebab penyakit malaria, yang tahun-tahun sebelumnya, kawasan pesisir Padangcermin dan Punduhpidada  adalah daerah pandemi malaria tropical akibat penebangan habis-habisan kawasan hutan bakau.

Jauh sebelumnya lagi, kawasan pesisir Padangcermin menjadi kawasan endemis nyamuk malaria terbesar kedua di Indonesia setelah Papua, yang kemudian nyamuk-nyamuk itu meranggas ke permukiman warga dan kemudian memicu lonjakan kasus malaria tropical akibat aksi pembabatan hutan bakau untuk disulap menjadi tambak.


Hutan Mangrove Petengoran
foto: Mongabay


Mengenal Hutan Mangrove Petengoran

Hutan bakau seluas 113 hektar ini menjadi sabuk hijau terbesar dan terluas di Indonesia yang dikelola secara profesional oleh BUMDes Desa Gebang, Kecamatan Padangcermin, Kabupaten Pesawaran.

Pengelolaannya pun dilakukan secara profesional dan dikuatkan melalui Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2016.

Nama Petengoran merujuk pada salah satu jenis tanaman bakau yakni; Tengar (Cerriops Zippeliana) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petengoran.


Hutan Mangrove Petengoran
foto: @satunamapro


Kabar Baik dari Desa Gebang

Adalah Toni Yunizar Ketua BUMDes Makmur Jaya yang menjadi penggaggas sekaligus pengelola Petengoran bersama dengan 38 warga desa lainnya.

Toni menilai pentingnya keberlangsungan lingkungan menyusul kian rusaknya kawasan pesisir akibat aktivitas pembukaan tambak-tambak udang baru maupun obyek-obyek wisata yang pada akhirnya membuat lonjakan kasus malaria tropical.

Toni yang ketika itu murni merehabilitasi hutan bakau untuk membangun kembali habitat-habitat nyamuk maupun berbagai spesies hewan laut lain yang membutuhkan hutan bakau sebagai ekosistem utamanya sekaligus menyeimbangkan lingkungan pesisir.

Namun belakangan ia melihat jika hutan bakau tak selamanya hanya sebagai kawasan sabuk hijau semata tapi juga bisa diberdayakan sebagai potensi wisata baru, meskipun ia mengakui setelah sedemikian terkenalnya hutan mangrove Petengoran, bahwa pariwisata ini hanyalah ‘sampingan’ semata karena tujuan utamanya adalah lingkungan yang lestari.

Latar belakangnya adalah, pembukaan tambak-tambak udang baru yang tidak langsung digunakan sehingga memicu munculnya sarang-sarang nyamuk yang jika dibiarkan terus-menerus maka masyarakat Padangcermin akan terus mengulang sejarahnya sebagai kawasan rawan penyakit malaria tropical.

Di awal-awal bahkan, Toni Yunizar masih menemukan banyak oknum warga yang tetap saja merusak hutan-hutan bakau yang ada sehingga kemudian terbersit konsep untuk menjadikan hutan bakau tak hanya semata sebagai sabuk hijau tapi juga menjadikannya sebagai kawasan wisata hingga akhirnya terkenal seperti saat ini.

Toni mengakui, selamanya tidak akan pernah bisa mengharapkan adanya kesadaran yang muncul langsung dari masyarakat, tapi mengolahnya menjadi sesuatu yang bermanfaat yang bisa membuat masyarakat menjaga keberadaan hutan mangrove Petengoran ini.

Baca Juga: Ekowisata Teluk Kiluan Bangkit Setelah Pandemi

Daya Tarik Petengoran

Di awal-awal Toni juga sempat mengembangkan berbagai produk olahan dari tanaman mangrove namun tidak terlalu menghasilkan karena terkenal oleh daya dukung pemasaran produknya. Kala itu, ia dan warga lainnya pernah membuat kopi, sirup hingga dodol dari buah maupun daun bakau.

Hingga akhirnya, mereka terpikir untuk memberdayakan hutan bakau dari sisi pariwisatanya dengan membangun jalur-jalur trekking yang mengitari seluruh kawasan hutan serta gazebo-gazebo yang bersisian langsung dengan hutan bakau dan perairan pantai.

Jalur Trekking Hutan Mangrove Petengoran yang Teduh dan Nyaman

Jalur trekking yang ada di Petengoran yang melingkar-lingkar mengitari seluruh area hutan bakau ini juga mampu memberikan sensasi bagi siapapun yang berada di kawasan Petengoran ini. Keteduhan alam hingga rasa nyamannya mampu memberikan rasa damai bagi siapapun.

Baca Juga: Pulau Balak, Kisah Kejayaan Pariwisata Lampung

Menikmati Kicauan Burung

Hutan bakau juga diketahui menjadi habitat burung air dan burung darat yang mencari makan berupa ikan kecil, moluska maupun udang yang banyak dijumpai di sela-sela akar bakau yang menghujam ke dasar pantai.

Suara riuh kicauan burung yang masih alami ini juga terasa lebih syahdu dan efektif membangun ketenangan alami ketika berada di Petengoran ini.

Pojok Kuliner

Selain itu terdapat pula pojok kuliner yang dilengkapi dengan gazebo-gazebo mungil yang menghadap ke perairan pantai dan hutan bakau. Berbagai menu makanan khas pesisir di Pojok Kuliner ini dijual dengan harga yang amat terjangkau.

Hutan Mangrove Petengoran sebagai Sarana Edukasi dan Penelitian

Selain itu, BUMDes selaku pengelola hutan bakau yang rimbun ini juga membuka kesempatan bagi siapapun yang ingin belajar tentang keberadaan dan pentingnya hutan bakau untuk kawasan pesisir.

Cara Menuju ke Petengoran

Hutan bakau Petengoran ini terletak di Desa Gebang, Kecamatan Padangcermin, Kabupaten Pesawaran. Jaraknya sekitar 23 kilometer dari pusat Kota Bandar Lampung. Aksesnya pun terbilang mudah karena berada satu jalur dengan destinasi wisata lainnya seperti Pantai Sari Ringgung.

Tiket Masuk dan Jam Buka

Untuk bisa menikmati keindahan ekosistem hutan mangrove Petengoran ini pengunjung cukup membayar retribusi sebesar Rp. 15 ribu. Retribusi itu sepenuhnya digunakan untuk merawat kembali hutan mangrove termasuk sarana infrastrukturnya agar tetap layak dan nyaman menyambut pengunjung. Jam bukanya mulai dari pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 18.30 setiap harinya.

Keberadaan Petengoran, Cuku Nyi Nyi yang juga kawasan hutan bakau yang masih berada di sekitar Padangcermin ini memang seolah menjadi kabar baik untuk keberlangsungan lingkungan khususnya yang ada di kawasan pesisir karena kemampuan mereka yang telah begitu berjasa memanfaatkan lingkungan menjadi daya tarik potensial yang tak selamanya harus merusak lingkungan itu sendiri.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama