Lampung Traveller

Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi

 

Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi

Bagi masyarakat Desa Rigis Jaya, kopi adalah segalanya. Dari kopi pulalah, desa ini kemudian dikenal sebagai destinasi wisata tentang kopi yang kemudian mengantarkan desa yang populer dengan nama Kampoeng Kopi ini sebagai juara ketiga untuk kategori desa wisata rintisan terbaik dalam Anugerah Desa Wisata tahun 2021 lalu.


Harum aroma kopi seketika menyergap saat memasuki Desa Rigis Jaya, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Lampung Barat, Lampung.

Udara pegunungan yang dingin membuat siapapun tak punya pilihan lain selain menyesap secangkir kopi terbaik sebagai teman pengiring menikmati keindahan desa dengan hamparan perkebunan kopi di antara latar Gunung Seminung yang menjulang.

Aktivitas warga saat menjemur biji-biji kopi di halaman rumah dan semerbak aroma surga dari biji-biji kopi yang tengah disangrai di rumah-rumah warga terasa begitu damai.

Sesekali, lamat-lamat suara merdu bersenandung, terbawa jauh oleh angin, membuai.

Seminung di kala dibi

Cahyani kuning gegoh emas

Humani hampaghan mata

Tebingni ngejutko hati..

Kopi, buat masyarakat Rigis Jaya adalah bagian dari identitas sekaligus tradisi yang tak akan pernah bisa dipisahkan dengan kebudayaan masyarakat Lampung itu sendiri. Dan, siklus itu terus berlangsung lestari secara turun temurun sampai dengan saat ini.

Desa ini selalu menguarkan aroma surga dan membagi nikmat tiap sesapan kopi itu kepada siapapun dengan ramah, untuk teman bercengkrama, dan semua tentang kehidupan, akan selalu ada kopi sebagai teman paling setia yang akan menyela lewat rasa.

Suasana Kampoeng Kopi ini sungguh amat menenangkan. Ia tak hanya menyajikan kekhasan sebagaimana layaknya kampung yang masih alami dengan jejeran rumah panggung yang eksotis, tapi juga warganya yang mampu menjaga keharmonisan sebagai pelengkap kesempurnaan yang indah.

Sejarah Desa Rigis Jaya

Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi


Nama Rigis Jaya merujuk pada Bukit Rigis yang menjadi hutan kawasan register 45 di Kabupaten Lampung Barat. Dalam bahasa Lampung, Rigis berarti bergerigi sesuai dengan bentuk puncak perbukitan Rigis.

Desa Rigis Jaya, secara administratif adalah hasil pemekaran dari desa induknya yakni; Desa Gunung Terang pada tahun 2010 yang dibagi dalam empat pemangku atau dusun; Pemangku Atar Obar, Pemangku Wana Jaya, Pemangku Buluh Kapur dan Pemangku Rejosari.

Meski terbilang desa baru, namun, eksistensi masyarakat Rigis Jaya sudah terkenal dan berlangsung sejak ratusan tahun silam sebagai daerah penghasil kopi robusta terbaik di Lampung.

Terletak di atas ketinggian 800 – 1.310 Mdpl dengan udaranya yang sejuk, desa ini tiap tahun mampu memproduksi tak kurang dari 1.058 ton kopi yang berasal dari 498,34 hektar perkebunan kopi. Dengan rata-rata produksi hingga 2 ton tiap hektar menjadikannya satu dari sedikit desa di Lampung sebagai penyumbang produksi kopi terbesar.

Transformasi Desa Rigis Jaya menjadi Kampoeng Kopi

Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi


Ribuan ton kopi berkualitas terbaik dengan standar petik merah yang ketat dijual hingga ke mancanegara itu pulalah yang menjadikan cikal bakal desa ini yang kemudian dikenal sebagai Kampoeng Kopi.

Awalnya, mereka yang hidup dan dihidupi oleh kopi ini terbesit ide cerdas untuk membangun sebuah identitas baru melalui kopi sebagai kekuatan utamanya. Ide kreatif ini muncul sebagai upaya untuk melepaskan status desa yang selama ini masih dianggap sebagai desa tertinggal, padahal dari sisi potensi Rigis Jaya adalah  harta karun yang belum dikemas secara apik.

Ide ini kemudian mulai diwujudkan tahun 2018. Dengan dana desa dan dukungan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, Rigis Jaya berbenah. Sejumlah infrastruktur dibangun dan diperbaiki.

Jalan sebagai akses utama dibangun dengan beton. Fasilitas publik diperbaiki, rumah-rumah warga bersolek agar lebih ideal untuk dijadikan home stay.

Sedangkan  kopi sebagai daya tariknya disiapkan sejak dari pembibitan, perawatan tanaman, dan penanganan pasca panen. Untuk proses pengolahan biji-biji kopi hingga siap seduh dipertahankan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat untuk menjaga warisan leluhur bagaimana memperlakukan biji kopi dengan layak.

Karena, buat masyarakat Rigis Jaya, menyangrai biji-biji kopi adalah sebuah ritual penting sebagai proses paling akhir yang akan menentukan citarasa kopi itu sendiri. Prosesnya juga tidak sembarangan. Dibutuhkan sensitivitas tinggi untuk mengukur tingkat kematangan biji-biji kopi itu.

Semua dikemas dalam dua konsep wisata yakni; wisata edukasi dan agrowisata. Tujuannya, mempelajari keunikan dari sebuah biji kopi sejak dari masih berbentuk bibit hingga menjadi secangkir kopi yang kemudian disandingkan dengan kearifan lokal serta tetap memperhatikan keberlangsungan lingkungan.

Jadi, wisatawan bisa belajar dan memahami seputar tehnik budidaya tanaman kopi sejak dari awal hingga proses akhir.

Wisatawan bahkan diajak untuk berinteraksi secara langsung dengan petani kopi disini, mulai dari menanam bibit kopi, memanen biji kopi hingga belajar proses menyangrai biji kopi secara tradisional atau bisa juga menggunakan mesin roasting yang lebih modern.

Karakteristik Kopi Rigis Jaya

Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi

Baca juga: Ayo Kurangi Selimut Polusi Mulai dari Rumah

Sebagai sentra perkebunan kopi di Lampung, masyarakat Rigis Jaya selalu konsisten untuk memetik biji kopinya hanya ketika sudah berwarna merah.

Konsistensi ini pulalah yang membangun karakter pada tiap kopi yang dihasilkan di desa ini. Perpaduan kawasan perbukitan yang sejuk serta kesuburan lahan kian membuat kopi Rigis Jaya cenderung memiliki karakter rasa dan aroma yang unik.

Aroma rempah dan coklat akan langsung menguar dengan lembut. Disisi lain, kopi Rigis juga memiliki tingkat keasaman (acidity) yang relatif rendah, pun dengan roasting profilnya yang tetap mampu menjaga aroma dan citarasa kopinya.

Dari sisi after taste, kopi Rigis juga sedikit spesial, karena memiliki arakter yang kompleks dengan notes nutty, earthy, dark chocolate hingga woody.

Karenanya, kopi Rigis akan lebih terasa ketika diolah menjadi espresso maupun sekedar kopi tubruk.

Produk Turunan Kopi Hasil Kreativitas Milenial Rigis Jaya

Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi


Melalui kreativitas milenial Rigis Jaya pula, produk turunan kopi diciptakan agar lebih maksimal sekaligus memperhatikan keberlangsungan lingkungan terhadap kemungkinan limbah yang muncul dari produk kopi.

Produk itu seperti; parfum dan pengharum ruangan berbahan kopi, hand sanitizer dengan aroma kopi serta lukisan dari ampas kopi.

Selain itu, ada pula produk ecoprint dalam bentuk kain untuk hijab, pakaian, hingga tote bag. Bahkan untuk produk tote bag, Menparekraf Sandiaga Uno memborong sebanyak 600 buah untuk dijadikan souvenir para pemimpin dunia dalam pertemuan G-20.

Kerennya lagi, produk ecoprint ini dibuat oleh warga difabel yang ada di Rigis Jaya, yang ikut berpartisipasi menciptakan produk ramah lingkungan berbahan kopi sekaligus menciptakan peluang kerja bagi penyandang disabilitas tak hanya untuk warga desa tapi juga desa-desa yang ada di sekitarnya.

Rozikin salah satu konseptor Kampung Kopi Rigis Jaya menilai antusiasme dan kreatifitas warga Rigis Jaya menjadi salah satu penyemangat dan keberhasilan dari eksistensi Kampoeng Kopi hingga saat ini.

“Kami bersama-sama, berdiskusi bagaimana mengimplementasikan desa wisata di Rigis Jaya. Semua memberikan ide tentang bagaimana membangun Rigis Jaya menjadi sebuah desa wisata yang ideal. Dan hasilnya, semua masyarakat menikmati,” terang Rozikin.

Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi


Istimewanya Tari Nyambai

Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi


Untuk melestarikan kebudayaan Lampung, Kampoeng Kopi juga  menyandingkan Tari Nyambai sebagai salah satu tarian paling istimewa di Kabupaten Lampung Barat.

Tari Nyambai awalnya adalah tarian sakral sebagai pengiring prosesi pemberian gelar adat kepada para keturunan Saibatin atau pemimpin kerajaan.

Nyambai atau Cambai berasal dari bahasa Lampung yang berarti daun sirih. Sirih adalah perlambang sifat keterbukaan masyarakat Lampung, sesuai dengan makna dan fleksibilitas daun sirih dalam ritual adat yang berlaku di masyarakat Lampung.

Tari ini pada masa lampau dianggap begitu agung karena hanya disuguhkan pada para bangsawan maupun para tamu yang berkunjung ke istana kerajaan atau Lamban Gedung. Sedangkan dalam upacara perkawinan, Tari Nyambai adalah bagian penting dari upacara Nayuh atau Penayuhan.

Pada perkembangan selanjutnya ketika Islam sudah mulai masuk ke Lampung, Tari Nyambai kemudian mengalami pergeseran baik dalam hal fungsi maupun gerak tariannya.

Tarian Nyambai sebagai tarian muda mudi (Muli Mekhanai) berkenalan dan mencari jodoh, gerakan tariannya menjadi lebih sedikit, dan lebih mengutamakan keseragaman gerak antara kaki dan tangan dalam tiap kelompok penari yang saling berhadapan.

Tari Nyambai yang hanya menggunakan alat musik rebana dan kulintang sebagai pengiringnya ini akan mengikuti tiap syair-syair yang berisi petuah-petuah bijak dalam bahasa Lampung.

Pada bagian akhir tarian, selendang tapis yang dibawa penari perempuan akan dikenakan kepada penari laki-laki yang menjadi pilihannya.

Festival Kopi di Kampoeng Kopi

Berbagai daya tarik di Rigis Jaya ini, mulai dari eco print, lukisan ampas kopi, Tari Nyambai dan berbagai keunikan kopi itu kemudian dikemas dalam festival tahunan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat bertajuk Festival Kopi.

Konsepnya menarik banyak wisatawan, ekonomi warga pun otomatis bertumbuh terlebih setelah pandemi Covid-19.

Dari Kampoeng Kopi inilah kemudian, gairah masyarakat Rigis Jaya dan masyarakat Lampung Barat sebagai salah satu daerah yang kaya akan destinasi wisata mulai pulih.

Angka kunjungan wisatawan mancanegara pun mulai menunjukkan tren peningkatan. Tingkat okupansi hunian home stay di rumah-rumah warga pun kian baik, terlebih di akhir pekan.

Saya tak bisa membayangkan seandainya, Festival Kreatif Lokal yang digagas oleh Adira Finance itu digelar juga di Kampoeng Kopi, bukan tidak mungkin gaung desa wisata andalan di Lampung ini akan lebih populer.

Apalagi, daya dukung infrastruktur jalan di Rigis Jaya sudah jauh memadai untuk dikembangkan sebagai  Desa Wisata Ramah Berkendara. Indikatornya, hampir tiap akhir pekan berbagai komunitas otomotif baik roda empat maupun roda dua menjadikan Rigis Jaya sebagai destinasi utama liburan.

Bahkan, lalu lalang kendaraan umum sebesar armada bus pun sudah kerap kali menjadikan Rigis Jaya sebagai bagian dari paket perjalanan wisata, di masa liburan panjang maupun di akhir pekan.

Tiap kali berkemas, saat liburan di Rigis Jaya usai, seketika kerinduan hadir di tiap jengkal ruas jalan yang saya lalui. Melihat jejeran rumah panggung yang apik itu, orang-orang yang selalu menebar senyum dengan tulus hingga aroma kopi yang nyaman seperti meminta saya untuk selalu kembali lagi kesini sebagai sebuah pesan kerinduan, kapan pun...

Kopi tak memilih siapa penikmatnya. Karena dihadapan kopi, kita semua sama..



Note: 

Tulisan ini telah dimuat di Kompasiana dengan judul yang sama: Menikmati Aroma Surga di Desa Rigis Jaya, sebuah Pesan dari Secangkir Kopi, sebagai bentuk partisipasi dalam lomba penulisan tentang desa wisata yang digelar oleh Adira Finance

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama